Summary: Revanno sedang duduk di bangku
taman ketika ia menyadari sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya saat
semuanya sudah terlambat.
“Ini pesanan
anda. Ada lagi yang anda inginkan?”
Si pelayan
café meletakkan teh berasa coklat pesanan Yuna di hadapaku. Bisa kucium aroma
coklatnya dari asap kecil yang mengepul di atas cangkir.
“Tidak,
terima kasih,” ujar Yuna pada pelayan tersebut. Dan dengan senyuman, ia
meninggalkan meja kami ke balik konter café.
Yuna
mengaduk pelan teh panasnya dan meniup pelan ketika cangkirnya diangkat ke
bibirnya. Ia menghirup kecil setiap aliran hangat teh ke dalam kerongkongannya.
Aku menoleh ke jendela, di luar masih hujan, walau hanya gerimis kecil tetapi
angin dingin masih bertiup-tiup di sekitarku sejak aku dan Yuna masuk ke café
ini. Itulah juga alasannya aku dan Yuna pergi kesini, hanya untuk menghangatkan
diri.
Awalnya Yuna-lah
yang mengajakku terlebih dahulu untuk bertemu. Ada yang ingin diceritakan soal Kevin,
katanya. Entah ini sudah keberapa sekian kalinya Yuna mengeluh soal Kevin,
kekasihnya. Aku paham bagaimana perasaan Yuna jika memiliki seorang kekasih
seperti Kevin yang hampir keseluruhan waktunya dihabiskan untuk pekerjaannya. Aku
paham betul bagaimana perasaan Yuna saat Kevin selalu menolak untuk di ajak
keluar hanya untuk sekedar makan malam atau menonton. Yuna bilang, ia dan Kevin
bukan seperti orang yang berpacaran. Awalnya memang begitu. Kami bertemu di
depan toko buku dan pada saat itu juga, ketika aku menggandeng tangan Yuna,
hujan turun. Akhirnya kami memutuskan ke café hangat ini setelah berlarian
menyebrangi jalan karena aku maupun Yuna sama-sama tidak membawa payung atau
mantel. Kami duduk berhadapan di sebuah meja di samping jendela. Saat menunggu
pesanan kami datang, Yuna menceritakan keluh kesahnya terhadap sikap Kevin yang
semakin hari semakin dingin, sama seperti di luar sana.
“Revanno…”
Aku menoleh
lagi pada Yuna setelah cukup lama memandangi jalan luar yang basah,
memperhatikan tukang majalah yang repot karena jualannya yang kebasahan.
“… Mmm?”
“Jadi
bagaimana? Apa yang perlu aku lakukan?”
Yuna kembali
menghirup tehnya, kali ini lebih banyak dari awal.
“Entahlah, Yuna.
Kau tahu aku payah soal berhubungan. Aku disini hanya sebagai pendengar, kan.”
Itu benar.
Aku sama sekali tidak punya bakat dalam hubungan percintaan. Sudah kukatakan
berkali-kali pada Yuna tentang kekuranganku ini, tetapi ia tetap saja
menceritakan segala urusan cintanya padaku dan terkadang mengharapkan solusi
dariku.
“Kalau
begitu carilah seorang kekasih. Mau kubantu carikan?”
Yuna menarik
kursinya lebih ke dalam, seakan itulah topik yang ingin sekali ia bicarakan
sejak tadi.
Aku
tersenyum. “Aku benar-benar payah soal seperti itu, Yuna.”
“Yah, kalau
memang tidak mau sih, tidak apa-apa.”
“Sudah ada
wanita yang kucinta.”
Yuna tampak
sumringah mendengarnya.
“Siapa?
Siapa? Beritahu aku.”
Aku
tersenyum lagi padanya. Dia benar-benar gadis yang baik. “Nanti saja kalau
memang sudah waktunya. Akan kuutarakan sendiri padanya.”
***
Aku duduk di
depan laptopku di apartemenku, mengecek setiap e-mail yang masuk dari
teman-teman lama. Dengan sedikit tergesa kubalas semua e-mail, mengetiknya
hanya dengan sepatah dua kata. Rasa kantuknya menyerang berkali-kali lipat saat
aku terus-terusan memandangi layar yang terang. Kupandang jam yang tertera di
layar, menunjukkan pukul 01.30. Benar-benar sudah malam. Aku
hampir mengklik shut down ketika suara pesan masuk dari chat box berbunyi.
Pesan dari Yuna.
Aku putus
dengan Kevin.
Yuna… Segera
kusambar ponselku dari tempat tidur dan kutekan angka tiga, speed dial untuk Yuna.
Suara nada sambung rasanya panjang sekali. Yuna… cepatlah angkat.
“Hallo?”
Syukur aku
mendengarnya, suara Yuna.
“Yuna, kau
bercanda kan?”
“…. Soal
apa?”
“Pesanmu di
chat tadi. Bercanda kan?”
“Itu? Aku
serius.”
Aku tertawa
dalam hati. Semakin hari Yuna semakin pintar bersandiwara. Tidak mungkin
seorang Yuna yang sangat mencintai Kevin berbicara dengan nada ringan padahal
beberapa jam yang lalu, atau bahkan baru saja putus dengan kekasihnya seakan ia
melupakan semua kenangannya bersama Kevin.
“Yuna…. Kau
bohong kan sudah putus dengan Kevin?”
Di seberang
sana aku bisa mendengar Yuna menghembus nafasnya.
“Revanno,
kau tidak percaya? Aku yang memutuskannya duluan.”
Jadi,
benarkah? Yuna sudah putus dengan Kevin? Tapi…. Kenapa aku merasa senang? Revanno
bodoh. Seharusnya aku merasa sedih juga karena sahabatku sedih putus dengan
kekasihnya. Tapi Yuna tidak sedih. Ia bahkan memberitahuku dengan sangat
antusias saat ia sudah memutuskan Kim Kevin yang sudah berbulan-bulan menjadi
pendampingnya. Senangkah aku? Senang karena memang Yuna juga bahagia atau
senang karena Yuna bukan milik siapapun lagi?
“Baiklah,
aku percaya.”
“Terima
kasih sudah mempercayaiku, Revanno. Selamat malam.”
***
Yuna, kutunggu
sore ini di taman .
Revanno
Surat kecil
itu kuselipkan di bawah pintu rumah Yuna saat aku hendak menuju taman. Masih
berjam-jam lagi dari sore hari. Aku sengaja untuk menunggu disana selama
beberapa jam. Menunggu Yuna yang akan datang dengan mini dress kuningnya dengan
rambut di jepit dengan jepitan yang kuberikan saat ulang tahunnya tahun lalu.
Ia akan memanggilku sambil berlari-lari kecil, “Revanno! Maaf aku telat!”. Aku
tersenyum kecil membayangkannya. Yuna akan tampak sangat bersalah karena sudah
membuatku lama menunggu. Lalu aku akan pura-pura marah padanya dan ia akan
meminta maaf padaku dengan sangat manis. “Revanno, I’m sorry. Tadi ibu menyuruhku mengantarkan kue buatannya ke
bibi tetangga.” Lagi-lagi ia akan memberi alasan yang tidak akan bisa
melanjutkan kepura-puraan marahku. Itulah Yuna, selalu saja tidak dapat menolak
permintaan tolong orang lain. Yuna…. Tanpa sadar, aku pun tertidur di bangku
taman.
Tik… tik…
Aku
terbangun karena siraman air hujan yang mengguyurku. Tetes hujan perlahan
mengalir dari atas dahiku, lalu ke pipiku hingga akhirnya jatuh dari dagu. Aku
masih di taman, duduk di bangku, masih dalam posisi sebelumnya dan mengenakan
pakaian yang sama dari jam-jam yang lalu. Aku melihat sekitarku di antara
guyuran hujan. Taman ini kosong. Hanya ada aku yang duduk di bangku dari kayu
yang sudah reyot.
“Hahahaha…”
Aku tertawa
seketika karena menyadari sesuatu. Semuanya mimpi. Aku hanya bermimpi sejak
tadi. sejak aku duduk di bangku reyot di taman ini dan tanpa sadar tertidur
lalu mulai bermimpi indah tentang Yuna. Dimulai sejak aku dan Yuna minum teh di
café yang hangat dan membicarakan Kevin, sampai pada suatu hari aku ke taman
ini untuk berjanji bertemu dengan Yuna, hingga akhirnya aku jatuh tertidur di
tempat yang sama persis denganku duduk sekarang. Sungguh konyol. Aku teringat
masa-masa setahun lalu.
Satu tahun
lalu… bersama Yuna.
Suasananya
begitu sama. Hujan deras di taman sepi ini. Suara petir yang memekakkan
telinga. Yuna selalu takut terhadap suara petir. Ia tidak akan berani sendirian
dan keluar rumah jika hujan deras dan petir berhambur-hamburan. Tetapi tidak
hari itu…. Satu hari setelah ia mengatakan padaku bahwa ia sudah putus dengan Kevin.
Perasaanku benar. Ternyata memang Yuna tidak bisa bersandiwara di depanku. Kevinlah
yang telah memutuskan Yuna terlebih dahulu dan itu membuatnya depresi. Suara
senang dan bahagianya saat meneleponku tengah malam hanya sandiwaranya. Hanya
agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Yuna pergi
menyetir mobilnya di tengah hujan deras seperti ini. Untuk menemui Kevin,
katanya. Aku dan ibu Yuna sudah berusaha keras untuk melarangnya keluar tetapi
ia tetap bersikeras. Yuna mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di
tengah hujan dan petir. Aku hanya bisa berdoa agar Yuna tidak mendengar setiap
suara jeritan perit tersebut. Tuhan, tolonglah dia, kataku saat itu.
Tetapi Tuhan
tidak adil. Satu jam kemudian aku dan ibu Yuna dikabarkan polisi bahwa Yuna
telah mengalami kecelakaan hebat yang tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Yuna
meninggal di depanku dengan badan dan kepala penuh darah saat aku datang ke
lokasi. Kejadiannya tepat setahun lalu dan tempatnya persis disini, di jalan raya
depan taman ini.
Yuna….
Sungguh Tuhan tidak adil. Kenapa Yuna-ku?
“Revanno.”
Suara
samar-samar terdengar di belakangku. Suara yang kukenal. Suara yang sudah
setahun tidak kukenal. Ini suara Yuna…. Revanno bodoh. Ilusiku terlalu
berlebihan. Sebegitu rindunya kah aku hingga suara Yuna terngiang-ngiang jelas
di kepalaku.
Sengaja aku
berputar ke belakang, hanya mematiskan bahwa aku masih waras.
Dan
disanalah aku melihatnya. Dengan balutan gaun panjang putih berdiri tidak jauh
di hadapanku. Yuna tampak cantik sekali. Wajanya pucat tidak bernyawa dan penuh
kesedihan. Benarkah itu Yuna? Yuna, kenapa wajahmu seperti itu? Kenapa kau
sedih seperti itu? Aku sudah tidak waras. Jadi, aku bertemu dengan roh Yuna?
Sejak kapan ia disana? Sejak kapan ia terus memperhatikanku seperti itu?
Aku mundur
beberapa langkah dan terjatuh karena kakiku ternyata kaku ketakutan. Aku
terkesiap dan melihat hadapanku lagi. Yuna sudah tidak ada. Di hadapanku
sekarang hanya jalanan kosong. Benar kan, hanya ilusiku. Tidak mungkin…. Tidak
mungkin itu Yuna.
Yuna-ku
masih… hidup? Tidak! Jangan biarkan pikiran seperti itu masuk ke otakku. Jangan
masukkan pikiran bodoh itu. Yuna sudah meninggal. Yuna tidak mungkin ada! Yuna
pergi….
Aku
menjatuhkan diriku. Hujan masih mengguyuriku. Aku menangis. Airmataku tercampur
bersama air hujan dan jatuh ke tanah. Yuna…. Kenapa aku baru merasa kehilangan
dia sekarang? Yuna…. Ada apa dengan pikiraku sekarang?
“Yuna!!!
Kembali!!! Kumohon kembali! Ada yang ingin kukatakan padamu!!! YUNAAAAA!!!”
Suara
teriakankku tergabung bersama suara petir yang menggelegar di langit.
“YUNAAAAAA!!!
Aku sudah sadar!!! Yuna, AKU MENCINTAIMU!!! Kau dengar?? Aku mencintaimu, Yuna!!!
Kembalilah, sayang!!!”
Yuna-ku
sayang. Kembali, kumohon. Aku sadar…. Aku sudah menyadarinya. Yuna….
Aku memegang
jantungku. Rasanya sakit sekali. Kemarahan, kekecewaan, dan kesedihanku
bercampur utuh akhirnya. Beginikah rasanya saat Yuna putus dengan Kevin.
Seperti inikah sakit hati yang dialami Yuna terhadap Kevin? Kini, aku merasakan
semuanya. Semua perasaan Yuna dapat aku rasakan sekarang.
Ada yang
terselip di saku bajuku. Sepucuk kertas kecil. Aku membukanya dan kaget saat
melihat tanggal tertera di kertas tersebut. Tepat satu tahun lalu. Tanggal hari
kematian Yuna.
Aku
mencintaimu, Revanno.
Yuna.