Jumat, 20 April 2012

Bergerrr Kesurupan


Shock lemes lesu lunglai pusing mual...sampe akhirnya gue terdiam dan kesurupan -_-". Itu yang pertama gue rasakan setelah nilai IPA gue di umumin.Yaa mungkin bisa di bilang ini nilai ternedah yang pernah gue dapet selama gue sekolah. Gue jadi merasa yang paling bawah sebawah bawahnya.

Apa emang otak gue nya yang ga bisa nyampe atau emang guenya yg terlalu "bloon" buat ngertiin IPA. Sampe pas waktu UTS tiba. Gue belajar apa yg udah di kasih kisi kisi sama guru IPA. Sampe gue berguru ke temen gue yang anak Biologi. Sampe pada waktunya tiba UTS IPA. Gue pun merasa siap

Pas liat soalnya
Gue pun melotot, membelalak, menganga
BLANK sama sekali.
Apa yang ada di soal gue ga ngerti.
Gue heran, terus apa yang gue pelajarin kalo akhirnya gue sama sekali ga ngerti sama soal yang di kasih. Dan gue jawab apa yg emang tangan gue mau jawab.

Sampe akhirnya pembagian nilai UTS. Gue sih emang udah feeling pasti bakalan jelek. Gue terima kalo emang hasilnya jelek. Tapi pas guru mau mengakhiri kelas nya dia menyampaikan pesan terakhir,
ini yg ngebuat gue kepikiran sampe akhirnya ga terima sama nilai gue karena kebodohan gue.
Dan rasanya pengen teriak

"MAMAAAAAAAAAAAAA...IPA NILAI NYA JELEEEEEKKKKKK, NIKAHIN AKU AJAAAAAAAAAAA...AAARRRRRGGGHHHH......"

Nyokap bilang, intinya sih "inget cari uang tuh susah, orang tua kamu capek cari uang kalo ternyata sekolah di sia sia-in sama kamu".

Yaa gue ngerti.
Gue juga bosen dengernya kaya gitu karena orang tua gue sendiri yang suka bilang kaya gitu, apalagi nyokap gue hampir setiap hari ceramah begituan. Tapi jujur ya, emang pemikiran orang berbeda beda. Tapi ga tau kenapa setiap kali ada yang ngomong kaya gitu, gue bukan merasa untuk bangkit, tapi malah gue pengen nyudahin ini semua tanpa ada hasil. Pesan kaya gitu malah bikin gue nge-down dan gak ada semangat. Dan gue merasa gue ga mau ngelanjutin lagi.

Karna gue merasa kalo usaha gue di sia sia-in gitu aja. Mungkin gue sedikit egois. Tapi gue pengennya di semangatin tanpa harus ada kata yg ngebuat gue jadi beban. Buat berusaha yang terbaik aja udah susah. Apalagi di tambah sama pemikiran yg emang ngebuat gue tambah susah. Itu malah jadi beban buat gue
dan akhirnya tambah lagi apa yang gue pikirin dan tambah pula uban yang tumbuh di kepala gue.

Dan akibat nilai IPA gue. Gue pengen nangis kalo inget nilai gue lagi. Tiba tiba aja nangis begitu aja, gue inget bokap nyokap gue karna mereka yang udah cari uang buat gue sekolah. Eeh, malah hasilnya ancur. Mana kemungkinan kecil lagi hasil nya buat lebih baik dari sebelumnya.

Tapi gue jadi ke inget sama semangatnya bokap gue waktu itu.
SKILL itu lebih penting dari pada NILAI. Tapi bagi gue lebih baik kalo nilai sama skill sama sama bagus.
Ngerti gak ngerti lo harus ngerti,
insya allah...kedepannya gue belajar ngerti sama si IPA ini pantengin, pantengin juga dah tuh IPA. Penyesalan emang datang belakangan. Makanya biar ga nyesel di belakang kaya gue
mending mulai belajar usaha dari depan.

Salam cupacuppss :*

Kamis, 05 April 2012

I Hate My Birthday

Tadi pagi gue baru sadar kalo besok udah tanggal 6 which mean in the matter of hours, I'm turning 15. Itupun gue inget karena diingetin sama anak-anak. Jujur, baru kali ini gue lupa sama ulang tahun gue dan ngerasa galau karena besok ulang tahun. Padahal tahun-tahun sebelumnya, gue selalu bersemangat dalam menyambut hari kelahiran gue karena I always feel a little more special on that day.
                                      
Bukannya gue ga seneng menjadi 15. Gue seneng kok besok gue jadi 15 tahun, gue jadi bisa lebih cepet dapet KTP sama SIM 2 tahun lagi yang udah gue tunggu-tunggu sejak lama dan gue juga ga sabar memasuki zona 17 yang diartikan sebagai zona legal. Tapi, entah kenapa, walaupun gue meyakini diri gue untuk menjadi bahagia karena gue akan memasuki zona yang gue tunggu-tunggu, gue tetap takut sekali menjadi 15 tahun.

I was just realize that being 15 isn't just about entering the legal zone, but being 15 is also entering a phase of being an adult. Sadar bahwa menjadi dewasa bukan hanya tentang memasuki zona legal, tapi juga mulai memiliki tanggung jawab sendiri atas segala pilihan yang gue pilih. Sadar bahwa sebentar lagi gue akan memasuki dunia SMA lalu kuliah lalu kerja. I know right now I'm being a victim of my own mind dan pikiran gue sudah melanglang jauh buana crossing it boundary, but still I couldn't get all these bad thoughts of being an adult out of my mind. 

The truth is, I'm afraid when I grow up things will never be this beautiful again.
And the truth is, I think I'm not ready being an adult.. yet.

Tolong, tolong sekali, doain gue agar gue bisa siap memasuki umur 15 tahun. Yakinin gue bahwa menjadi 15 tahun, atau tepatnya menjadi tua, tidak seburuk apa yang gue pikirkan. Yang gue butuhkan kali ini sepertinya cuma itu. Tidak lebih.

When I Started Falling In Love


Summary: Revanno sedang duduk di bangku taman ketika ia menyadari sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya saat semuanya sudah terlambat.
“Ini pesanan anda. Ada lagi yang anda inginkan?”
Si pelayan café meletakkan teh berasa coklat pesanan Yuna di hadapaku. Bisa kucium aroma coklatnya dari asap kecil yang mengepul di atas cangkir.
“Tidak, terima kasih,” ujar Yuna pada pelayan tersebut. Dan dengan senyuman, ia meninggalkan meja kami ke balik konter café.
Yuna mengaduk pelan teh panasnya dan meniup pelan ketika cangkirnya diangkat ke bibirnya. Ia menghirup kecil setiap aliran hangat teh ke dalam kerongkongannya. Aku menoleh ke jendela, di luar masih hujan, walau hanya gerimis kecil tetapi angin dingin masih bertiup-tiup di sekitarku sejak aku dan Yuna masuk ke café ini. Itulah juga alasannya aku dan Yuna pergi kesini, hanya untuk menghangatkan diri.
Awalnya Yuna-lah yang mengajakku terlebih dahulu untuk bertemu. Ada yang ingin diceritakan soal Kevin, katanya. Entah ini sudah keberapa sekian kalinya Yuna mengeluh soal Kevin, kekasihnya. Aku paham bagaimana perasaan Yuna jika memiliki seorang kekasih seperti Kevin yang hampir keseluruhan waktunya dihabiskan untuk pekerjaannya. Aku paham betul bagaimana perasaan Yuna saat Kevin selalu menolak untuk di ajak keluar hanya untuk sekedar makan malam atau menonton. Yuna bilang, ia dan Kevin bukan seperti orang yang berpacaran. Awalnya memang begitu. Kami bertemu di depan toko buku dan pada saat itu juga, ketika aku menggandeng tangan Yuna, hujan turun. Akhirnya kami memutuskan ke café hangat ini setelah berlarian menyebrangi jalan karena aku maupun Yuna sama-sama tidak membawa payung atau mantel. Kami duduk berhadapan di sebuah meja di samping jendela. Saat menunggu pesanan kami datang, Yuna menceritakan keluh kesahnya terhadap sikap Kevin yang semakin hari semakin dingin, sama seperti di luar sana.
“Revanno…”
Aku menoleh lagi pada Yuna setelah cukup lama memandangi jalan luar yang basah, memperhatikan tukang majalah yang repot karena jualannya yang kebasahan.
“… Mmm?”
“Jadi bagaimana? Apa yang perlu aku lakukan?”
Yuna kembali menghirup tehnya, kali ini lebih banyak dari awal.
“Entahlah, Yuna. Kau tahu aku payah soal berhubungan. Aku disini hanya sebagai pendengar, kan.”
Itu benar. Aku sama sekali tidak punya bakat dalam hubungan percintaan. Sudah kukatakan berkali-kali pada Yuna tentang kekuranganku ini, tetapi ia tetap saja menceritakan segala urusan cintanya padaku dan terkadang mengharapkan solusi dariku.
“Kalau begitu carilah seorang kekasih. Mau kubantu carikan?”
Yuna menarik kursinya lebih ke dalam, seakan itulah topik yang ingin sekali ia bicarakan sejak tadi.
Aku tersenyum. “Aku benar-benar payah soal seperti itu, Yuna.”
“Yah, kalau memang tidak mau sih, tidak apa-apa.”
“Sudah ada wanita yang kucinta.”
Yuna tampak sumringah mendengarnya.
“Siapa? Siapa? Beritahu aku.”
Aku tersenyum lagi padanya. Dia benar-benar gadis yang baik. “Nanti saja kalau memang sudah waktunya. Akan kuutarakan sendiri padanya.”
***
Aku duduk di depan laptopku di apartemenku, mengecek setiap e-mail yang masuk dari teman-teman lama. Dengan sedikit tergesa kubalas semua e-mail, mengetiknya hanya dengan sepatah dua kata. Rasa kantuknya menyerang berkali-kali lipat saat aku terus-terusan memandangi layar yang terang. Kupandang jam yang tertera di layar, menunjukkan pukul 01.30. Benar-benar sudah malam. Aku hampir mengklik shut down ketika suara pesan masuk dari chat box berbunyi. Pesan dari Yuna.
Aku putus dengan Kevin.
Yuna… Segera kusambar ponselku dari tempat tidur dan kutekan angka tiga, speed dial untuk Yuna. Suara nada sambung rasanya panjang sekali. Yuna… cepatlah angkat.
Hallo?”
Syukur aku mendengarnya, suara Yuna.
“Yuna, kau bercanda kan?”
“…. Soal apa?”
“Pesanmu di chat tadi. Bercanda kan?”
“Itu? Aku serius.”
Aku tertawa dalam hati. Semakin hari Yuna semakin pintar bersandiwara. Tidak mungkin seorang Yuna yang sangat mencintai Kevin berbicara dengan nada ringan padahal beberapa jam yang lalu, atau bahkan baru saja putus dengan kekasihnya seakan ia melupakan semua kenangannya bersama Kevin.
“Yuna…. Kau bohong kan sudah putus dengan Kevin?”
Di seberang sana aku bisa mendengar Yuna menghembus nafasnya.
“Revanno, kau tidak percaya? Aku yang memutuskannya duluan.”
Jadi, benarkah? Yuna sudah putus dengan Kevin? Tapi…. Kenapa aku merasa senang? Revanno bodoh. Seharusnya aku merasa sedih juga karena sahabatku sedih putus dengan kekasihnya. Tapi Yuna tidak sedih. Ia bahkan memberitahuku dengan sangat antusias saat ia sudah memutuskan Kim Kevin yang sudah berbulan-bulan menjadi pendampingnya. Senangkah aku? Senang karena memang Yuna juga bahagia atau senang karena Yuna bukan milik siapapun lagi?
“Baiklah, aku percaya.”
“Terima kasih sudah mempercayaiku, Revanno. Selamat malam.”
***
Yuna, kutunggu sore ini di taman .
Revanno
Surat kecil itu kuselipkan di bawah pintu rumah Yuna saat aku hendak menuju taman. Masih berjam-jam lagi dari sore hari. Aku sengaja untuk menunggu disana selama beberapa jam. Menunggu Yuna yang akan datang dengan mini dress kuningnya dengan rambut di jepit dengan jepitan yang kuberikan saat ulang tahunnya tahun lalu. Ia akan memanggilku sambil berlari-lari kecil, “Revanno! Maaf aku telat!”. Aku tersenyum kecil membayangkannya. Yuna akan tampak sangat bersalah karena sudah membuatku lama menunggu. Lalu aku akan pura-pura marah padanya dan ia akan meminta maaf padaku dengan sangat manis. “Revanno, I’m sorry. Tadi ibu menyuruhku mengantarkan kue buatannya ke bibi tetangga.” Lagi-lagi ia akan memberi alasan yang tidak akan bisa melanjutkan kepura-puraan marahku. Itulah Yuna, selalu saja tidak dapat menolak permintaan tolong orang lain. Yuna…. Tanpa sadar, aku pun tertidur di bangku taman.
Tik… tik…
Aku terbangun karena siraman air hujan yang mengguyurku. Tetes hujan perlahan mengalir dari atas dahiku, lalu ke pipiku hingga akhirnya jatuh dari dagu. Aku masih di taman, duduk di bangku, masih dalam posisi sebelumnya dan mengenakan pakaian yang sama dari jam-jam yang lalu. Aku melihat sekitarku di antara guyuran hujan. Taman ini kosong. Hanya ada aku yang duduk di bangku dari kayu yang sudah reyot.
“Hahahaha…”
Aku tertawa seketika karena menyadari sesuatu. Semuanya mimpi. Aku hanya bermimpi sejak tadi. sejak aku duduk di bangku reyot di taman ini dan tanpa sadar tertidur lalu mulai bermimpi indah tentang Yuna. Dimulai sejak aku dan Yuna minum teh di café yang hangat dan membicarakan Kevin, sampai pada suatu hari aku ke taman ini untuk berjanji bertemu dengan Yuna, hingga akhirnya aku jatuh tertidur di tempat yang sama persis denganku duduk sekarang. Sungguh konyol. Aku teringat masa-masa setahun lalu.
Satu tahun lalu… bersama Yuna.
Suasananya begitu sama. Hujan deras di taman sepi ini. Suara petir yang memekakkan telinga. Yuna selalu takut terhadap suara petir. Ia tidak akan berani sendirian dan keluar rumah jika hujan deras dan petir berhambur-hamburan. Tetapi tidak hari itu…. Satu hari setelah ia mengatakan padaku bahwa ia sudah putus dengan Kevin. Perasaanku benar. Ternyata memang Yuna tidak bisa bersandiwara di depanku. Kevinlah yang telah memutuskan Yuna terlebih dahulu dan itu membuatnya depresi. Suara senang dan bahagianya saat meneleponku tengah malam hanya sandiwaranya. Hanya agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Yuna pergi menyetir mobilnya di tengah hujan deras seperti ini. Untuk menemui Kevin, katanya. Aku dan ibu Yuna sudah berusaha keras untuk melarangnya keluar tetapi ia tetap bersikeras. Yuna mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah hujan dan petir. Aku hanya bisa berdoa agar Yuna tidak mendengar setiap suara jeritan perit tersebut. Tuhan, tolonglah dia, kataku saat itu.
Tetapi Tuhan tidak adil. Satu jam kemudian aku dan ibu Yuna dikabarkan polisi bahwa Yuna telah mengalami kecelakaan hebat yang tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Yuna meninggal di depanku dengan badan dan kepala penuh darah saat aku datang ke lokasi. Kejadiannya tepat setahun lalu dan tempatnya persis disini, di jalan raya depan taman ini.
Yuna…. Sungguh Tuhan tidak adil. Kenapa Yuna-ku?
“Revanno.”
Suara samar-samar terdengar di belakangku. Suara yang kukenal. Suara yang sudah setahun tidak kukenal. Ini suara Yuna…. Revanno bodoh. Ilusiku terlalu berlebihan. Sebegitu rindunya kah aku hingga suara Yuna terngiang-ngiang jelas di kepalaku.
Sengaja aku berputar ke belakang, hanya mematiskan bahwa aku masih waras.
Dan disanalah aku melihatnya. Dengan balutan gaun panjang putih berdiri tidak jauh di hadapanku. Yuna tampak cantik sekali. Wajanya pucat tidak bernyawa dan penuh kesedihan. Benarkah itu Yuna? Yuna, kenapa wajahmu seperti itu? Kenapa kau sedih seperti itu? Aku sudah tidak waras. Jadi, aku bertemu dengan roh Yuna? Sejak kapan ia disana? Sejak kapan ia terus memperhatikanku seperti itu?
Aku mundur beberapa langkah dan terjatuh karena kakiku ternyata kaku ketakutan. Aku terkesiap dan melihat hadapanku lagi. Yuna sudah tidak ada. Di hadapanku sekarang hanya jalanan kosong. Benar kan, hanya ilusiku. Tidak mungkin…. Tidak mungkin itu Yuna.
Yuna-ku masih… hidup? Tidak! Jangan biarkan pikiran seperti itu masuk ke otakku. Jangan masukkan pikiran bodoh itu. Yuna sudah meninggal. Yuna tidak mungkin ada! Yuna pergi….
Aku menjatuhkan diriku. Hujan masih mengguyuriku. Aku menangis. Airmataku tercampur bersama air hujan dan jatuh ke tanah. Yuna…. Kenapa aku baru merasa kehilangan dia sekarang? Yuna…. Ada apa dengan pikiraku sekarang?
“Yuna!!! Kembali!!! Kumohon kembali! Ada yang ingin kukatakan padamu!!! YUNAAAAA!!!”
Suara teriakankku tergabung bersama suara petir yang menggelegar di langit.
“YUNAAAAAA!!! Aku sudah sadar!!! Yuna, AKU MENCINTAIMU!!! Kau dengar?? Aku mencintaimu, Yuna!!! Kembalilah, sayang!!!”
Yuna-ku sayang. Kembali, kumohon. Aku sadar…. Aku sudah menyadarinya. Yuna….
Aku memegang jantungku. Rasanya sakit sekali. Kemarahan, kekecewaan, dan kesedihanku bercampur utuh akhirnya. Beginikah rasanya saat Yuna putus dengan Kevin. Seperti inikah sakit hati yang dialami Yuna terhadap Kevin? Kini, aku merasakan semuanya. Semua perasaan Yuna dapat aku rasakan sekarang.
Ada yang terselip di saku bajuku. Sepucuk kertas kecil. Aku membukanya dan kaget saat melihat tanggal tertera di kertas tersebut. Tepat satu tahun lalu. Tanggal hari kematian Yuna.
Aku mencintaimu, Revanno.
Yuna.

Rabu, 04 April 2012

Hate You !!


Kepada kamu,
Dengan penuh kebencian.


Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu, tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak. Aku benci deg-degan menunggu kamu online. Dan di saat kamu muncul, aku akan tiduran tengkurap, bantal di bawah dagu, lalu berpikir, tersenyum, dan berusaha mencari kalimat-kalimat lucu agar kamu, di seberang sana, bisa tertawa. Karena, kata orang, cara mudah membuat orang suka denganmu adalah dengan membuatnya tertawa. Mudah-mudahan itu benar.

Aku benci terkejut melihat SMS kamu nongol di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, menghapusnya, memikirkan kata demi kata. Aku benci ketika jatuh cinta, semua detail yang aku ucapkan, katakan, kirimkan, tuliskan ke kamu menjadi penting, seolah-olah harus tanpa cacat, atau aku bisa jadi kehilangan kamu. Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. Tapi, aku tidak bisa menawar, ya?

Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? Dan lagi-lagi aku salah mengartikan .

Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, menjalar ke sekujur tubuh, dan aku merasa pasrah, gelisah. Aku benci untuk berpikir aku bisa begini terus semalaman, tanpa harus tidur. Cukup begini saja.

Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, “Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common,” harus dibantahkan oleh hati yang berkata, “Jangan hiraukan logikamu.”

Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.

Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang berkumpul di dalam dan meletup pelan-pelan…
aku takut sendirian.

So, see ya around!

Gue mulai menggendut


Eniwei,

Perut gue jadi buncit nih sekarang.

Gila, biasanya gue ke sekolah kalo gak pake iket pinggang pasti rok gue jadi kedodoran. Lah, kemaren gue ke sekolah gak pake iket pinggang, KENAPA KOK ROKNYA JADI MUAT?! Oh, ini sungguh buruk. Kenapa gue jadi gendut gini?! 

Mungkin ini akibat dari tiap malem kerjaannya ngemil, kalo lauknya cocok gue bisa nambah sampe 3 kali, kalo pagi dan malem minum segelas  susu , dan coklat satu box di rumah gue abisin dalam tempo satu hari saja. 

Wajar,
saya menggendut dengan sangat mengerikan.

Krik krik krik ._.

Minggu, 01 April 2012

Kepergiannya~

Ini cinta yang sulit. Kau dan aku ditakdirkan saling tak memiliki. Aku tak bisa mencintaimu seperti yang aku mau.
Namun, ketika dia hadir dalam hidupmu diantara kita, akupun sadar kebahagianku pelan-pelan memudar. Betapa tidak, dia bisa memberimu cinta dan perhatian. 
Menggenggam tanganmu hingga akhirnya kau terlelap disisinya. Dia melakukan semua yang ingin aku berikan kepadamu.
 Dan hari ini, aku memandangi senja pertama yang kunikmati tanpa dirimu. Aku belajar berbahagia untukmu. Dia yang paling tepat. Aku tau itu tapi...., Bagaimana denganku? 
Bagaimana caraku bahagia tanpa dirimu?