Kamis, 05 April 2012

When I Started Falling In Love


Summary: Revanno sedang duduk di bangku taman ketika ia menyadari sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya saat semuanya sudah terlambat.
“Ini pesanan anda. Ada lagi yang anda inginkan?”
Si pelayan café meletakkan teh berasa coklat pesanan Yuna di hadapaku. Bisa kucium aroma coklatnya dari asap kecil yang mengepul di atas cangkir.
“Tidak, terima kasih,” ujar Yuna pada pelayan tersebut. Dan dengan senyuman, ia meninggalkan meja kami ke balik konter café.
Yuna mengaduk pelan teh panasnya dan meniup pelan ketika cangkirnya diangkat ke bibirnya. Ia menghirup kecil setiap aliran hangat teh ke dalam kerongkongannya. Aku menoleh ke jendela, di luar masih hujan, walau hanya gerimis kecil tetapi angin dingin masih bertiup-tiup di sekitarku sejak aku dan Yuna masuk ke café ini. Itulah juga alasannya aku dan Yuna pergi kesini, hanya untuk menghangatkan diri.
Awalnya Yuna-lah yang mengajakku terlebih dahulu untuk bertemu. Ada yang ingin diceritakan soal Kevin, katanya. Entah ini sudah keberapa sekian kalinya Yuna mengeluh soal Kevin, kekasihnya. Aku paham bagaimana perasaan Yuna jika memiliki seorang kekasih seperti Kevin yang hampir keseluruhan waktunya dihabiskan untuk pekerjaannya. Aku paham betul bagaimana perasaan Yuna saat Kevin selalu menolak untuk di ajak keluar hanya untuk sekedar makan malam atau menonton. Yuna bilang, ia dan Kevin bukan seperti orang yang berpacaran. Awalnya memang begitu. Kami bertemu di depan toko buku dan pada saat itu juga, ketika aku menggandeng tangan Yuna, hujan turun. Akhirnya kami memutuskan ke café hangat ini setelah berlarian menyebrangi jalan karena aku maupun Yuna sama-sama tidak membawa payung atau mantel. Kami duduk berhadapan di sebuah meja di samping jendela. Saat menunggu pesanan kami datang, Yuna menceritakan keluh kesahnya terhadap sikap Kevin yang semakin hari semakin dingin, sama seperti di luar sana.
“Revanno…”
Aku menoleh lagi pada Yuna setelah cukup lama memandangi jalan luar yang basah, memperhatikan tukang majalah yang repot karena jualannya yang kebasahan.
“… Mmm?”
“Jadi bagaimana? Apa yang perlu aku lakukan?”
Yuna kembali menghirup tehnya, kali ini lebih banyak dari awal.
“Entahlah, Yuna. Kau tahu aku payah soal berhubungan. Aku disini hanya sebagai pendengar, kan.”
Itu benar. Aku sama sekali tidak punya bakat dalam hubungan percintaan. Sudah kukatakan berkali-kali pada Yuna tentang kekuranganku ini, tetapi ia tetap saja menceritakan segala urusan cintanya padaku dan terkadang mengharapkan solusi dariku.
“Kalau begitu carilah seorang kekasih. Mau kubantu carikan?”
Yuna menarik kursinya lebih ke dalam, seakan itulah topik yang ingin sekali ia bicarakan sejak tadi.
Aku tersenyum. “Aku benar-benar payah soal seperti itu, Yuna.”
“Yah, kalau memang tidak mau sih, tidak apa-apa.”
“Sudah ada wanita yang kucinta.”
Yuna tampak sumringah mendengarnya.
“Siapa? Siapa? Beritahu aku.”
Aku tersenyum lagi padanya. Dia benar-benar gadis yang baik. “Nanti saja kalau memang sudah waktunya. Akan kuutarakan sendiri padanya.”
***
Aku duduk di depan laptopku di apartemenku, mengecek setiap e-mail yang masuk dari teman-teman lama. Dengan sedikit tergesa kubalas semua e-mail, mengetiknya hanya dengan sepatah dua kata. Rasa kantuknya menyerang berkali-kali lipat saat aku terus-terusan memandangi layar yang terang. Kupandang jam yang tertera di layar, menunjukkan pukul 01.30. Benar-benar sudah malam. Aku hampir mengklik shut down ketika suara pesan masuk dari chat box berbunyi. Pesan dari Yuna.
Aku putus dengan Kevin.
Yuna… Segera kusambar ponselku dari tempat tidur dan kutekan angka tiga, speed dial untuk Yuna. Suara nada sambung rasanya panjang sekali. Yuna… cepatlah angkat.
Hallo?”
Syukur aku mendengarnya, suara Yuna.
“Yuna, kau bercanda kan?”
“…. Soal apa?”
“Pesanmu di chat tadi. Bercanda kan?”
“Itu? Aku serius.”
Aku tertawa dalam hati. Semakin hari Yuna semakin pintar bersandiwara. Tidak mungkin seorang Yuna yang sangat mencintai Kevin berbicara dengan nada ringan padahal beberapa jam yang lalu, atau bahkan baru saja putus dengan kekasihnya seakan ia melupakan semua kenangannya bersama Kevin.
“Yuna…. Kau bohong kan sudah putus dengan Kevin?”
Di seberang sana aku bisa mendengar Yuna menghembus nafasnya.
“Revanno, kau tidak percaya? Aku yang memutuskannya duluan.”
Jadi, benarkah? Yuna sudah putus dengan Kevin? Tapi…. Kenapa aku merasa senang? Revanno bodoh. Seharusnya aku merasa sedih juga karena sahabatku sedih putus dengan kekasihnya. Tapi Yuna tidak sedih. Ia bahkan memberitahuku dengan sangat antusias saat ia sudah memutuskan Kim Kevin yang sudah berbulan-bulan menjadi pendampingnya. Senangkah aku? Senang karena memang Yuna juga bahagia atau senang karena Yuna bukan milik siapapun lagi?
“Baiklah, aku percaya.”
“Terima kasih sudah mempercayaiku, Revanno. Selamat malam.”
***
Yuna, kutunggu sore ini di taman .
Revanno
Surat kecil itu kuselipkan di bawah pintu rumah Yuna saat aku hendak menuju taman. Masih berjam-jam lagi dari sore hari. Aku sengaja untuk menunggu disana selama beberapa jam. Menunggu Yuna yang akan datang dengan mini dress kuningnya dengan rambut di jepit dengan jepitan yang kuberikan saat ulang tahunnya tahun lalu. Ia akan memanggilku sambil berlari-lari kecil, “Revanno! Maaf aku telat!”. Aku tersenyum kecil membayangkannya. Yuna akan tampak sangat bersalah karena sudah membuatku lama menunggu. Lalu aku akan pura-pura marah padanya dan ia akan meminta maaf padaku dengan sangat manis. “Revanno, I’m sorry. Tadi ibu menyuruhku mengantarkan kue buatannya ke bibi tetangga.” Lagi-lagi ia akan memberi alasan yang tidak akan bisa melanjutkan kepura-puraan marahku. Itulah Yuna, selalu saja tidak dapat menolak permintaan tolong orang lain. Yuna…. Tanpa sadar, aku pun tertidur di bangku taman.
Tik… tik…
Aku terbangun karena siraman air hujan yang mengguyurku. Tetes hujan perlahan mengalir dari atas dahiku, lalu ke pipiku hingga akhirnya jatuh dari dagu. Aku masih di taman, duduk di bangku, masih dalam posisi sebelumnya dan mengenakan pakaian yang sama dari jam-jam yang lalu. Aku melihat sekitarku di antara guyuran hujan. Taman ini kosong. Hanya ada aku yang duduk di bangku dari kayu yang sudah reyot.
“Hahahaha…”
Aku tertawa seketika karena menyadari sesuatu. Semuanya mimpi. Aku hanya bermimpi sejak tadi. sejak aku duduk di bangku reyot di taman ini dan tanpa sadar tertidur lalu mulai bermimpi indah tentang Yuna. Dimulai sejak aku dan Yuna minum teh di café yang hangat dan membicarakan Kevin, sampai pada suatu hari aku ke taman ini untuk berjanji bertemu dengan Yuna, hingga akhirnya aku jatuh tertidur di tempat yang sama persis denganku duduk sekarang. Sungguh konyol. Aku teringat masa-masa setahun lalu.
Satu tahun lalu… bersama Yuna.
Suasananya begitu sama. Hujan deras di taman sepi ini. Suara petir yang memekakkan telinga. Yuna selalu takut terhadap suara petir. Ia tidak akan berani sendirian dan keluar rumah jika hujan deras dan petir berhambur-hamburan. Tetapi tidak hari itu…. Satu hari setelah ia mengatakan padaku bahwa ia sudah putus dengan Kevin. Perasaanku benar. Ternyata memang Yuna tidak bisa bersandiwara di depanku. Kevinlah yang telah memutuskan Yuna terlebih dahulu dan itu membuatnya depresi. Suara senang dan bahagianya saat meneleponku tengah malam hanya sandiwaranya. Hanya agar aku tidak mengkhawatirkannya.
Yuna pergi menyetir mobilnya di tengah hujan deras seperti ini. Untuk menemui Kevin, katanya. Aku dan ibu Yuna sudah berusaha keras untuk melarangnya keluar tetapi ia tetap bersikeras. Yuna mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tengah hujan dan petir. Aku hanya bisa berdoa agar Yuna tidak mendengar setiap suara jeritan perit tersebut. Tuhan, tolonglah dia, kataku saat itu.
Tetapi Tuhan tidak adil. Satu jam kemudian aku dan ibu Yuna dikabarkan polisi bahwa Yuna telah mengalami kecelakaan hebat yang tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Yuna meninggal di depanku dengan badan dan kepala penuh darah saat aku datang ke lokasi. Kejadiannya tepat setahun lalu dan tempatnya persis disini, di jalan raya depan taman ini.
Yuna…. Sungguh Tuhan tidak adil. Kenapa Yuna-ku?
“Revanno.”
Suara samar-samar terdengar di belakangku. Suara yang kukenal. Suara yang sudah setahun tidak kukenal. Ini suara Yuna…. Revanno bodoh. Ilusiku terlalu berlebihan. Sebegitu rindunya kah aku hingga suara Yuna terngiang-ngiang jelas di kepalaku.
Sengaja aku berputar ke belakang, hanya mematiskan bahwa aku masih waras.
Dan disanalah aku melihatnya. Dengan balutan gaun panjang putih berdiri tidak jauh di hadapanku. Yuna tampak cantik sekali. Wajanya pucat tidak bernyawa dan penuh kesedihan. Benarkah itu Yuna? Yuna, kenapa wajahmu seperti itu? Kenapa kau sedih seperti itu? Aku sudah tidak waras. Jadi, aku bertemu dengan roh Yuna? Sejak kapan ia disana? Sejak kapan ia terus memperhatikanku seperti itu?
Aku mundur beberapa langkah dan terjatuh karena kakiku ternyata kaku ketakutan. Aku terkesiap dan melihat hadapanku lagi. Yuna sudah tidak ada. Di hadapanku sekarang hanya jalanan kosong. Benar kan, hanya ilusiku. Tidak mungkin…. Tidak mungkin itu Yuna.
Yuna-ku masih… hidup? Tidak! Jangan biarkan pikiran seperti itu masuk ke otakku. Jangan masukkan pikiran bodoh itu. Yuna sudah meninggal. Yuna tidak mungkin ada! Yuna pergi….
Aku menjatuhkan diriku. Hujan masih mengguyuriku. Aku menangis. Airmataku tercampur bersama air hujan dan jatuh ke tanah. Yuna…. Kenapa aku baru merasa kehilangan dia sekarang? Yuna…. Ada apa dengan pikiraku sekarang?
“Yuna!!! Kembali!!! Kumohon kembali! Ada yang ingin kukatakan padamu!!! YUNAAAAA!!!”
Suara teriakankku tergabung bersama suara petir yang menggelegar di langit.
“YUNAAAAAA!!! Aku sudah sadar!!! Yuna, AKU MENCINTAIMU!!! Kau dengar?? Aku mencintaimu, Yuna!!! Kembalilah, sayang!!!”
Yuna-ku sayang. Kembali, kumohon. Aku sadar…. Aku sudah menyadarinya. Yuna….
Aku memegang jantungku. Rasanya sakit sekali. Kemarahan, kekecewaan, dan kesedihanku bercampur utuh akhirnya. Beginikah rasanya saat Yuna putus dengan Kevin. Seperti inikah sakit hati yang dialami Yuna terhadap Kevin? Kini, aku merasakan semuanya. Semua perasaan Yuna dapat aku rasakan sekarang.
Ada yang terselip di saku bajuku. Sepucuk kertas kecil. Aku membukanya dan kaget saat melihat tanggal tertera di kertas tersebut. Tepat satu tahun lalu. Tanggal hari kematian Yuna.
Aku mencintaimu, Revanno.
Yuna.

0 komentar:

Posting Komentar